Minggu, 03 April 2011

BROWNING, BLANCHING DAN PASTEURISASI


BROWNING, BLANCHING DAN PASTEURISASI

1.      Browning
1.1  Pengertian Browning
Dalam ilmu pangan, browning adalah proses terbentuknya warna coklat pada bahan pangan secara alami atau karena proses tertentu. Proses pencoklatan atau browning dapat kita temukan pada suatu bahan pangan, baik yang disengaja dengan maksud mempercantik tampilan atau menambah flavor, maupun yang tidak disengaja atau tidak diinginkan.
Pada umumnya proses pencoklatan dapat di bagi menjadi dua jenis, proses pencoklatan yang enzimatik (dipengaruhi oleh substrat, enzim, suhu, waktu) dan nonenzimatik yang terbagi menjadi 3 macam reaksi yakni karamelisasi, reaksi Maillard dan pencoklatan akibat vitamin C.
1.2  Pencoklatan Enzimatik
Pencoklatan enzimatik adalah proses perubahan warna produk yang dipengaruhi oleh substrat, enzim, suhu dan waktu. Reaksi pencoklatan enzimatis biasa terjadi pada buah-buahan dan sayur-sayuran yang memiliki senyawa fenolik. Senyawa ini berfungsi sebagai substrat bagi enzim polifenoloksidase (PPO/1,2-benzenediol/oxygen oxidoreductase; EC 1.10.3.1). Terdapat berbagai macam senyawa fenolik, yaitu katekin dan turunannya (tirosin), asam kafeat, asam klorogenat, serta leukoantosianin.  Pada jaringan tanaman, enzim PPO dan substrat fenolik dipisahkan oleh struktur sel sehingga tidak terjadi pencoklatan. Untuk memicu terjadinya reaksi pencoklatan, harus ada reaksi antara enzim PPO, substrat fenolik, serta oksigen. Reaksi pencoklatan megubah struktur kuinol menjadi kuinon.
Enzim yang berperan dalam proses ini terjadinya browning  adalah polifenol oksidase, suatu enzim kompleks. Enzim komplek tersebut diantaranya adalah fenol hidroksilase, kresolase dan katekolase. Untuk terjadinya reaksi pencoklatan dikatalis oleh enzim tersebut, maka selain ada subtrat juga harus ada tersedia gugus prostestik Cu++ dan oksigen sebagai asektor hydrogen. Kebanyakan reaksi pencoklatan dasar reaksi pembentukan melalim berwarna coklat reaksi pertama diduga sebagi hidrolisasi sekunder O-quinon atau karena kelebihan O-difenol.
Pencoklatan pada buah apel dan buah lain setelah dikupas disebabkan oleh pengaruh aktivitas enzim Polypenol Oxidase (PPO), yang dengan bantuan oksigen akan mengubah gugus monophenol menjadi O-hidroksi phenol, yang selanjutnya diubah lagi menjadi O-kuinon. Gugus O-kuinon inilah yang membentuk warna coklat.
Enzim oksidase akan reaktif dengan adanya oksigen. Ketika bahan pangan tersebut terkelupas atau terpotong, maka bagian dalam permukaan bahan akan terpapar oleh oksigen, sehingga akan memicu reaksi oksidasi senyawa fenol dan merubah permukaan bahan pangan menjadi coklat.
Pada proses pencoklatan enzimatis, substrat yang umunya  berperan  adalah:
·         P-difenol (quinol)
·         Monofenol (L-tirosin, p-kresol)
·         Flavonoid (querssetin, rutin)
·         Tannin (kateein, leukoantosianin)
·         Katekol, asam kafeat, asam protokatekoat, asam klogorenat
Dari substrat-substra diatas, monofenol sifatnya lambat reaksinya sebab sebelum oksidasi menjadi quinon , zat ini harus mengalami hidroksilasi berulang.
Pencoklatan juga dapat terjadi karena rangsangan kimia, prinsipnya yaitu pada lingkunagan eksplan tersedia bahan-bahan kimia yang mendorong pembentukan senyawa phenol. Sebagai missal auksin pada eksplan daun muda klapa sawit dapat mendapat mendorong terjadinya pencoklatan. Salah satu bahan kimia yang menyebabkan pencoklatan adalah enzim, yaitu enzim yang mendorong proses terjadinya oksidasi phenol (enzimya: phenol oksidase)
Beberapa metode untuk mengontrol pencoklatan enzimatis dalam pangan yaitu :
  • Blansir/blanching/pemanasan atau pasteurisasi
  • inaktifasi PPO dengan panas
  •  penghambatan PPO secara kimiawi (dengan asidulan, pengaturan pH, pengkelat, atau kofaktor esensial yang terikat pada enzim)
  • Agen pereduksi. Senyawa yang mereduksi o-quinon menjadi komponen fenolik menghambat reaksi pencoklatan. Asam askorbat dan eritrobat dan juga sulfit merupakan senyawa pereduksi yang efektif.
  • Pengurangan oksigen. Pengemasan vakum, perendaman dalam sirup gula, dan pelapisan dengan edible film merupakan upaya untuk melindungi bahan dari terekspos oksigen.
  • Enzim proteolitik. Meskipun belum banyak digunakan, namun penggunaan enzim proteolitik dapat menyerang dan menginaktifasi PPO.
  • Perlakuan dengan madu. Madu mengandung inhibitor PPO, meskipun hal ini belum banyak digunakan.
  • Penggunaan ruang gelap, karena kerja enzim polyphenol oksidase efektifnya dipengaruhi oleh cahaya
  • Mengeluarkan senyawa fenol, yaitu dengan jalan membilas terus  menerus dengan air atau dengan aquadest., melakukan subkult berulang ulang, mengabsorsi dengan arang aktif, mengabsorsi dengan polyvinylpirolidone (PVP).
  • Mengurangi agen yang menyebabkan terjadinya pencoklatan, yang paling umum biasanya yaitu dengan cara mengurangi jumlah karbohidrat mediu, mengurangi atau memindahkan kontak dengan oksigen.
  •  Menghambat dengan enzim phenol oksidase, untuk ini dapat digunakan ‘chelating agents’. EDTA telah terbukti dapat menghambat kerja enzim  polyphenol oksidase.
  • Pengatur pH rendah, ini dapat dilakukan karena enzim polyphenol oksidase optimalnya pada pH 6.5 dan menurun seirama dengan turunya pH.

1.3  Pencoklatan Non-Enzimatik
1.3.1        Karamelisasi
Karamelisasi (caramelisation) adalah oksidasi dari gula , proses yang digunakan secara ekstensif dalam memasak untuk rasa gula yang dihasilkan dan warna coklat. Karena proses terjadi, volatin kimia dilepaskan, menghasilkan karakteristik rasa karamel
Warna coklat karamel didapat dari pemanasan larutan sukrosa dengan amonium bisulfat seperti yang digunakan pada minuman cola, minuman asam lainnya, produk-produk hasil pemanggangan, sirup, permen, pelet, dan bumbu kering. Larutan asam (pH 2-4,5) ini memiliki muatan negatif (Fennema 1996). Terdapat tiga kelompok karamel, yaitu karamelan, karamelen, dan karamelin, yang masing-masing memiki bobot molekul berbeda(Hartoyo A et al 2010). Contoh: Gula jika dipanaskan terus sehinga suhunya melampaui titik leburnya, misalnya 170°C, maka mulailah terjadinya karamelisasi. . Pencairan gula atau pemanasan larutan gula dengan keberadaan katalis asam atau basa dapat menyebabkan gula mengalami karamelisasi. Karamelisasi menghasilkan warna coklat dan aroma yang disukai.
1.3.2        Reaksi Mailard
Reaksi Mailard adalah reaksi-reaksi antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Hasil reaksi tersebut menghasilkan bahan berwarna coklat, yang sering dikehendaki atau kadang-kadang malahan menjadi pertanda penurunan mutu. Warna yang dikehendaki misalnya pada roti, daging, sate dan proses penggorengan ubi jalar. Gugus amina primer biasanya terdapat pada bahan awal sebagai asam amino.
Reaksi Maillard dapat terjadi, misalnya selama produksi pembakaan roti. Kehilangan tersebut terutama terjadi pada bagian yang berwarna coklat (crust), yang mungkin karena terjadinya reaksi dengan gula pereduksi yang dibentuk selama proses fermentasi tetapi tidak habis digunakan oleh khamir (dari ragi roti). Meskipun gula-gula nonreduksi (misalnya sukrosa) tidak bereaksi dengan protein pada suhu rendah, tetapi pada suhu tinggi ternyata dapat menimbulkan reaksi Maillard, yang pada suhu tinggi terjadi pemecahan ikatan glikosidik dari sukrosa dan menghasilkan glukosa dan fruktosa.
Dalam bahan pangan keberadaan karbohidrat kadang kala tidak sendiri melainkan berdampingan dengan zat gizi yang lain seperti protein dan lemak. Interaksi antara karbohidrat (gula) dengan protein telah dibahas, seperti tersebut diatas. Bahan pangan yang dominan kandungan karbohidratnya seperti singkong, ubi jalar, gula pasir, dll. Dalam pengolahan yang melibatkan pemanasan yang tinggi karbohidrat terutama gula akan mengalami karamelisasi (pencoklatan non enzimatis). Warna karamel ini kadang-kadang justru dikehendaki, tetapi jika dikehendaki karamelisasi yang berlebihan sebaliknya tidak diharapkan .
Beberapa faktor yang mempengaruhi reaksi Maillard dalam makanan, antara lain yang utama adalah gugus aldehid atau keton (terutama berasal dari gula pereduksi) serta amin (dari protein). Faktor lainnya yaitu suhu, konsentrasi gula, konsentrasi amin, pH dan tipe gula.
  • Suhu. Reaksi dapat terlihat pada suhu 37 oC, reaksi dapat terjadi secara cepat 100 oC, dan tidak terjadi pada 150 oC.
  • Konsentrasi. Reaksi terjadi lambat pada bahan pangan kering dan pada larutan yang sangat encer. Reaksi pencoklatan terjadi sangat cepat pada bahan pangan dengan kadar air 10-15%.
  • Nilai pH. Pengaruh utama pH adalah terkait dengan protonasi grup amino. Pada pH rendah, lebih banyak grup amino yang terprotonasi dan lebih sedikit yang tersedia untuk bereaksi.
  • Gula. Konfigurasi stereokimia dan ukuran molekul gula mempengaruhi kecepatan reaksi Maillard. Secara umum, molekul gula berukuran kecil bereaksi lebih cepat daripada yang lebih besar. Pentosa bereaksi lebih cepat daripada heksosa , dan heksosa bereaksi lebih cepat daripada disakarida. Tidak semua heksosa bereaksi dengan kecepatan yang sama. Galaktosa tampak lebih reaktif diantara heksosa lain. Fruktosa bereaksi lebih cepat daripada glukosa pada tahap awal, tetapi pada reaksi berikutnya kebalikannya.
1.3.3        Pencoklatan Akibat Vitamin C
Pencoklatan Akibat Vitamin C Vitamin C (asam askorbat) merupakan suatu senyawa reduktor dan juga dapat bertindak sebagai precusor untuk pembentukan warna coklat nonenzimatik. Asam-asam askorbat berada dalam keseimbangan dengan dehidroaskorbat.

2.      Blanching
2.1  Pengerrtian Blanching
Blanching merupakan proses perlakuan panas yang secara umum diterapkan pada buah dan sayur sebelum pembekuan, pengeringan atau pengalengan. Blanching sangat penting dalam proses pengolahan pada industri pengolahan sayur dan buah terutama untuk inaktivasi enzim dalam bahan pangan tersebut.
Blanching merupakan proses pemanasan pendahuluan yang biasanya dilakukan terhadap buah dan sayur untuk menginaktifkan enzim alami yang terdapat dalam bahan tersebut antara lain enzim katalase dan peroksidase yang tahan terhadap panas (Winarno, 1997).
Blansir adalah proses pemanasan yang dilakukan pada suhu kurang dari 100 derajat Celcius selama beberapa menit dengan menggunakan air panas atau uap air panas. Contoh blansir misalnya mencelupkan sayuran atau buah di dalam air mendidih selama 3 sampai 5 menit atau mengukusnya selama 3 sampai 5 menit.

2.2  Tujuan Blanching
Tujuan utama blanching adalah untuk menginaktifkan enzim di dalam bahan pangan (Winarno, 1997). Blanching juga berguna untuk menghilangkan gas dalam bahan sehingga proses oksidasi dapat dicegah, memperbaiki warna dan aroma bahan serta melunakkan dinding sel sehingga dapat mempermudah proses pengolahan selanjutnya (Muljohardjo, 1975).
·         Modifikasi struktur jaringan (tekstur)
Fleksibilitas dari beberapa produk ditingkatkan dengan penerapan panas lembab, yang memfasilitasi operasi pengisian dengan kerusakan fisik minimum dan rasio berat dan volume yang lebih besar. Yang terakhir adalah mengontrol berat isi. Blanching sayuran berpati, misalnya kacang polong, buncis dan sebagainya, dalam hard water cenderung melindungi granula pati dari kerusakan. Sebaliknya, blanching soft water cenderung meningkatkan kerusakan garnula pati yang menghasilkan media pengisi yang keruh dan variasi berat kering yang lebih besar.
Blanching hard water meningkatkan ketegaran dari beberapa sayuran karena kalsium dalam air dapat bereaksi dengan pektin dan komplek pektosellulosat dari dinding sel membran menghasilkan produk yang tegar. Efek tegar dapat berlanjut selama penyimpanan. Blanching soft water memberikan efek yang berlawanan. Selama blanching, karena kalsium bereaksi dengan pektin, air menjadi lebih lunak. Jadi, jika blanching hard water dikehendaki, tingkat kalsium harus dijaga dengan memperbarui air terus-menerus atau dengan menambahkan garam kalsium yang larut. Penambahan specific firming agent dapat dicegah dengan blanching hard water.
·         Menghilangkan udara interseluler dan gas-gas lain.
Buah dan sayuran mentah mengandung udara interseluler dan gas-gas lain yang akan dilepaskan selama sterilisasi atau pasteurisasi jika tidak dihilangkan selama blanching. Oksigen dalam udara dilepaskan melalui head space dapat menyebabkan produk teroksidasi dan korosi internal oksidatif pada kaleng. Gas-gas akan mengurangi vakum head space yang mengakibatkan masalah tekanan internal selama pengalengan dan mempengaruhi hasil yang dicapai.
·         Mengurangi mikrobia permukaan dan kontaminasi kimia
Blanching mengurangi tingkat kontaminan mikrobia, pestisida dan fungisida. Pengurangan tersebut tergantung dari metode blanching yang digunakan, suhu dan waktu. Blanching air panas dapat menghasilkan pengurangan yang lebih besar karena efek penambahan pencucian.
Hal ini harus dicatat bahwa spora shockthermal panas yang dapat mengalami perkecambahan akibat blanching. Jika produk sayuran yang diblanching dilakukan untuk beberapa waktu utamanya untuk proses thermal lebih lanjut, harus dilakukan dibawah suhu 40 0C untuk meminimalkan perkecambahan dan pertumbuhan dari organisme tersebut. Pembersihan dan disinfeksi yang cukup dari blanching dapat menyebabkan mikroorganisme tahan panas beradaptasi terhadap suhu dan bahan yang digunakan. Peningkatan level dari beberapa mikroorganisme dalam produk akan menigkatkan permintaan dalam proses panas akhir dan harus di bawah kondisi sterilisasi.
·         Inaktivasi enzim
Kebanyakan enzim dalam buah dan sayuran menjadi inaktif karena panas. Untuk produk yang dikalengkan, inaktivasi enzim yang dibutuhkan hanya sebagian, karena akan dilengkapi selama perlakuan panas berikutnya. Namun demikian, inaktivasi enzim sebagian penting untuk produk untuk meminimalkan efek yang merugikan dari aktivitas enzim, misalnya perubahan warna, flavor, dan tekstur.
·         Penyesuaian tingkat kelembaban
Selama pemasakan beberapa sayuran, misalnya bayam, kehilangan berat karena leaching dari komponen cairnya, sedangkan yang lain misalnya kentang menyerap air. Jadi, selama akhir proses thermal, perubahan kadar air dari produk dapat membuat kontrol dari berat kering akhir menjadi sulit. Variasi kelembaban dalam produk dapat diturunkan dengan blanching.
·         Mengawetkan warna dari buah yang mengandung pigmen antosianin
Antosianin yang larut air dapat didegradasi oleh oksidasi enzimatik, misalnya oleh polifenol oksidase, yang menghasilkan perubahan warna yang signifikan. Polifenol oksidase diinaktifasi dengan blanching selama beberapa menit pada 100 oC. Peroksida dari oksidasi asam lemak dapat menyebabkan kerusakan klorofil, yang menghasilkan warna coklat selama penyimpanan selama penyimpanan pada sayuran hijau yang tidak di-blanching, dapat diiaktivasi dengan blanching.

2.3  Faktor yang Mempengaruhi
Menurut Muljohardjo (1975), lama blanching dipengaruhi oleh jenis bahan, tingkat kematangan, ukuran bahan, suhu blanching, jumlah bahan dan metode blanching yang digunakan.

2.4  Proses Blanching
Menurut Fellows (1990), blanching dapat dilakukan dengan metode hot water blanching (perebusan dengan air mendidih) dan steam blanching (pengukusan dengan uap air panas). Steam blanching (pengukusan) dilakukan dengan memasukkan bahan dalam ruang uap sehingga bahan menjadi panas. Hot water blanching (perebusan) dilakukan dengan mencelupkan bahan dalam air panas (air mendidih) sampai semua bahan terendam.
Masing-masing metode ini memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Fellows (1990) menyatakan bahwa operasi pada hot water blanching lebih mudah, biaya lebih murah dan efisien tetapi kehilangan zat yang larut air lebih tinggi. Sedangkan steam blanching sukar mendapat keseragaman produk, energi yang diperlukan banyak dan biayanya lebih tinggi tetapi kehilangan zat yang larut air lebih sedikit.
Proses blansir yang umum dilakukan adalah dengan menggunakan air panas (70 – 100 oC) atau dengan steam (uap panas). Saat ini juga mulai berkembang proses blansir yang dilakukan dengan menggunakan microwave.
Blansir untuk sayuran biasanya dilakukan dengan menggunakan air panas atau steam sementara blansir buah dilakukan dengan menggunakan larutan kalsium. Penggunaan larutan kalsium, bertujuan untuk mempertahankan tekstur buah melalui pembentukan kalsium pektat. Pengental seperti pektin, karboksimetil selulose dan alginat juga dapat digunakan untuk membantu mempertahankan tekstur buah agar tetap tegar setelah proses blansir.
Proses pendinginan setelah blansir dilakukan untuk menghentikan proses pemasakan, mencegah pelunakan jaringan yang berlebihan sekaligus juga berfungsi sebagai proses pencucian setelah blansir. Pendinginan dilakukan segera setelah blansir. Bahan dicemplungkan ke dalam air es selama beberapa waktu, biasanya sama dengan lamanya waktu yang digunakan untuk blansir. Waktu pendinginan juga tidak boleh terlalu lama, karena akan menyebabkan meningkatnya kehilangan komponen larut air karena lisis kedalam air pendingin. Untuk meminimalkan kehilangan komponen larut air karena lisis kedalam air pendingin, maka proses pendinginan juga dapat dilakukan dengan menggunakan udara dingin sebagai media pendinginan. Tentu saja, biaya yang dibutuhkan untuk investasi peralatan pendinginan cepat (quick cooling) akan jauh lebih besar dibandingkan dengan teknik pendinginan yang menggunakan air dingin sebagai media pendingin.
Berapa lama proses blansir yang dibutuhkan untuk inaktivasi enzim, sangat tergantung pada jenis bahan yang diblansir, metode blansir yang digunakan, ukuran bahan dan suhu media pemanas yang digunakan. Pada dibawah ini dapat dilihat lama waktu blansir dari beberapa bahan pada suhu 100 oC. Proses dapat dilakukan pada suhu diatas atau dibawah 100 oC.


Waktu blansir yang direkomendasikan atau yang optimal penting untuk dipatuhi. Proses blansir yang berlebihan akan menyebabkan produk menjadi masak dan kehilangan flavor, warna dan komponen nutrisi karena komponen-komponen tersebut rusak atau terlarut kedalam media pemanas (pada proses blansir dengan air panas atau steam). Sebaliknya, waktu blansir yang tidak cukup akan mendorong meningkatnya aktivitas enzim perusak dan menyebabkan kerusakan mutu produk yang lebih besar dibandingkan dengan yang tidak diblansir.
Di dalam proses blansir buah dan sayuran, terdapat dua jenis enzim yang tahan panas, yaitu enzim katalase dan peroksidase. Kedua enzim ini memerlukan pemanasan yang lebih tinggi untuk menginaktifkannya dibandingkan enzim-enzim yang lain. Baik enzim katalase maupun peroksidase tidak menyebabkan kerusakan pada buah dan sayuran. Namun karena sifat ketahanan panasnya yang tinggi, enzim katalase dan peroksidase sering digunakan sebagai enzim indikator bagi kecukupan proses blansir. Artinya, apabila tidak ada lagi aktivitas enzim katalase atau peroksidase pada buah dan sayuran yang telah diblansir, maka enzim-enzim lain yang tidak diinginkan pun telah terinaktivasi dengan baik.

2.5  Efek Terhadap Produk
Pada dasarnya blanching akan merusak enzim yang mengakibatkan perubahan warna, flavor dan tekstur. Berikut ini beberapa uraian tentang efek yang ditimbulkan karena proses blanching :
·         Kehilangan karena pelarutan
Komponen yang larut air akan lepas selama blanching. Variasi jumlah dan kesulitan memprediksi komponen yang terlarut tergantung pada : medium pemanas (misalnya air, uap panas, atau air panas), suhu, tekanan osmotik media pemanas (kelarutan optimal pada air segar, menurun jika konsentrasi organik terlarut meningkat), rasio area permukaan dengan volume produk (produk berdaun akan lebih rentan daripada biji dan akar sayuran) dan durasi dari treatment tersebut.
·         Pengurangan vitamin
Selama blanching beberapa vitamin hilang karena degradasi thermal dan pelarutan. Kehilangan dapat dikurangi dengan memperpendek waktu pada suhu yang lebih tinggi. Dalam kasus umum, tidak diketahui apakah kehilangn tersebut karena pelarutan atau karena panas atau keduanya.
Retensi beberapa vitamin ditunjukkan dalam tabel sebagai berikut :

Asam askorbat
B1
B2
Niasin
Karoten
Segar
100
100
100
100
100
Segar, dimasak
81
93
108
93
78
Segar, di-blanching
67
95
81
90
102
Di-blanching, dibekukan
55
94
78
76
102
Di-blanching, dibekukan, dan dimasak
38
63
72
79
103
(Larousse, 1997)
·         Perubahan warna yang tidak dikehendaki
Perubahan dalam sayuran hijau dihubungkan dengan distribusi kembali senyawa klorofilik melalui sel akibat kerusakan thermal kloroplas. Klorofil A relatif labil terhadap panas dalam media berkadar asam rendah, sedangkan B lebih stabil. Jadi, rasio A dan B menjadi ukuran degradasi klorofil. Pengurangan klorofil tidak berhubungan dengan pelarutan tetapi berhubungan dengan degradasi feofitin, yang umumnya terlihat dengan menguningnya ekstrak klorofilik dalam sayuran hijau yang dimasak.
Kehilangan β karoten tidak terlalu besar selama blanching. Blanching dapat mengawetkan β karoten dalam melawan enzim pengoksidasi selama penyimpanan. Oleh karena itu, kehilangan akan lebih besar apabila produk tidak di-blanching.
Penambahan sodium karbonat ke dalam air yang digunakan untuk blanching akan menetralkan keasaman alami dari produk. Klorofil dilindungi selama perlakuan panas dan akibatnya warna produk mendekati warna hijau segar alami. Perubahan klorofil menjadi feofitin dapat dibatasi dengan keberadaan sodium karbonat, potasium klorida, disodium sulfat atau potasium dan amonium karbonat.
Asam sitrat lebih sering ditambahkan untuk meningkatkan warna putih dari beberapa sayuran karena batas oksidasinya pada peningkatan suhu dari produk rentan terhadap pencoklatan atau pewarnaan merah muda. Hal ini juga terlibat dalam susunan kompleks pigmen yang tidak berwarna dalam sayuran segar, tetapi dapat menjadi berwarna akibat oksidasi pada peningkatan suhu. Karena sifatnya sebagai antioksidan, asam sitrat kadang digunakan, tetapi labil terhadap panas, efek ini hilang secara cepat dalam blanching.
3.      Pasteurisasi
3.1  Pengertian Pasteurisasi
Pasteurisasi adalah sebuah proses pemanasan makanan menggunakan suhu yang relative cukup rendah (dibawah 1000oC), dengan tujuan membunuh organisme merugikan seperti bakteri, virus, protozoa, kapang, dan khamir. Proses ini diberi nama atas penemunya Louis Pasteur seorang ilmuwan Perancis. Teknik ini digunakan untuk mengawetkan bahan pangan yang tidak tahan suhu  tinggi, misalnya susu.
Pemilihan proses ini didasarkan pada sifat produk yang relatif asam sehingga mikroba menjadi lebih sensitif terhadap panas. Selain itu, penggunaan panas yang tidak terlalu tinggi juga dapat mengurangi resiko rusaknya beberapa zat gizi seperti vitamin C. Proses pasteurisasi sedikit memperpanjang umur simpan produk pangan dengan cara membunuh semua mikroorganisme patogen (penyebab penyakit) dan sebagian besar mikroorganisme pembusuk, melalui proses pemanasan. Karena tidak semua mikroorganisme pembusuk mati oleh proses pasteurisasi, maka untuk memperpanjang umur simpannya produk yang telah dipasteurisasi biasanya disimpan di refrigerasi (suhu rendah).
Tidak seperti sterilisasi, pasteurisasi tidak dimaksudkan untuk membunuh seluruh mikroorganisme di makanan. Pasteurisasi bertujuan untuk mencapai pengurangan jumlah organisme, sehingga tidak lagi bisa menyebabkan penyakit (dengan syarat produk yang telah dipasteurisasi didinginkan dan digunakan sebelum tanggal kedaluwarsa). Oleh sebab itu, proses ini sering diikuti dengan teknik lain misalnya pendinginan atau pemberian gula dengan konsentrasi tinggi. Produk hasil pasteurisasi bila disimpan pada suhu kamar hanya bertahan 1 sampai 2 hari sedang jika disimpan pada suhu rendah dapat tahan 1 minggu.
Produk yang bisa dipasteurisasi
3.2  Tujuan Pasteurisasi
Tujuan dilakukannya pasteurisasi adalah :
  1. Untuk membunuh bakteri patogen, yaitu bakteri yang berbahaya karena dapat menimbulkan penyakit pada manusia. Bakteri pada susu yang bersifat patogen misalnya Mycobacterium tuberculosis dan Coxiella bunetti  dan mengurangi populasi bakteri.
  2. Untuk memperpanjang daya simpan bahan atau produk
  3. Dapat menimbulkan citarasa yang lebih baik pada produk
  4. Pada susu proses ini dapat menginaktifkan enzim fosfatase dan katalase yaitu enzim yang membuat susu cepat rusak.
3.3  Proses Pasteurisasi
Prof. Douglas Goff, seorang dairy scientist dari University of Guelph menyatakan, proses pasteurisasi terdiri dari dua metode dasar, yaitu metode batch dan metode continuous. Dua metode tersebut memiliki perbedaan dalam cara, waktu, dan temperatur yang digunakan.
·         Metode batch dilakukan melalui proses pemanasan dalam bejana (vat) selama 30 menit. Jangka waktu 30 menit tersebut dinamakan holding period. Temperatur yang digunakan selama holding period adalah sekira 63°C. Produk (susu)  didinginkan ketika holding period telah selesai. Temperatur yang terlalu tinggi pada metode batch dapat menyebabkan kerusakan pada lapisan tipis di sekitar butiran lemak.
·         Metode continuous memiliki banyak kelebihan dibandingkan metode batch, salah satunya adalah jangka waktu yang lebih pendek dan energi yang digunakan lebih hemat. Pemanasan dilakukan dalam waktu yang sangat singkat dan menggunakan temperatur tinggi, yang dikenal pula dengan istilah high temperature short time (HTST). Prosesnya dilakukan dalam plate heat exchanger yang berisi susunan pelat baja yang bergelombang. Dalam HTST, susu dipanaskan dengan temperatur 72°C selama 16 detik. (Shiddieqy, 2006). Proses berlangsung tanpa terputus: bahan yang telah dipasteurisasi langsung dibawa ke tahap pendinginan dan langsung dikemas. Cara kontinyu menggunakan suhu yang lebih tinggi dengan waktu proses yang lebih singkat dibandingkan metode batch.
Metode Pasteurisasi yang umum digunakan adalah:
  1. Pasteurisasi dengan suhu tinggi dan waktu singkat (High Temperature Short Time/HTST), yaitu proses pemanasan susu selama 15 – 16 detik pada suhu 71,7 – 750C dengan alat Plate Heat Exchanger.
  2. Pasteurisasi dengan suhu rendah dan waktu lama (Low Temperature Long Time/LTLT) yakni proses pemanasan susu pada suhu 610C selama 30 menit.
  3. Pasteurisasi dengan suhu sangat tinggi (Ultra High Temperature) yaitu memnaskan susu pada suhu 1310C selama 0,5 detik. Pemanasan dilakukan dengan tekanan tinggi untuk menghasilkan perputaran dan mencegah terjadinya pembakaran susu pada alat pemanas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar